Rabu, 07 Mei 2014

Konsep Dasar HIV/AIDS

 
1.    Defenisi
         Menurut Green. CW (2007). HIV meripakan singkatan dari Human Immunnedeficiency Virus. Disebut human (manusia) karena virus ini hanya dapat menginfeksi manusia, immuno-deficiency karena efek virus ini adalah melemahkan kamampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan segala penyakit yang menyerang tubuh, termasuk golongan virus karena salah satu karakteristiknya adalah tidak mampu  memproduksi diri sendiri, melainkan memanfaatkan sel-sel tubuh. Sel darah putih manusia sebagai sel yang berfungsi untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh virus, bakteri, jamur, parasit dan beberapa jenis kanker diserang oleh Hiv yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit.
         AIDS singkatan dari Acquired Immuno Defeciency Syndrome. Acquired berarti diperoleh karena orang hanya menderita bila terinfeksi HIV dari orang lain yang sudah terinfeksi. Immuno berarti sistem kekebalan tubuh, Defeciency berarti kekurangan yang menyebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh dan Syndrome berarti kumpulan gejala atau tanda yang sering muncul bersama tetapi mungkin disebabkan oleh satu penyakit atau mungkin juga tidak yang sebelum penyebabnya infeksi HIV ditemukan. Jadi AIDS adalah kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan system kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Gallant. J 2010).
2.    Patofisiologi
         HIV termasuk kelompok retrovirus, virus yang mempunyai enzim (protein) yang dapat merubah RNA, materi genetiknya, menjadi DNA. Kelompok retrovirus karena kelompok ini membalik urutan normal yaitu DNA diubah (replikasi) menjadi RNA. Setelah menginfeksi RNA HIV berubah menjadi DNA oleh enzim yang ada dalam virus HIV yang dapat mengubah RNA virus menjadi (reversetranscriptas) sehingga dapat disisipkan ke dalam DNA sel-sel manusia. DNA itu kemudian dapat digunakan untuk membuat virus baru (virion), yang menginfeksi sel-sel baru, atau tetap tersembunyi dalam sel-sel yang hidup panjang, atau tempat penyimpanan, seperti limfosit sel-sel CD4 (Sel T-Pembantu) yang istirahat sebagai target paling penting dalam penyerangan virus ini.
         Sel CD4 adalah salah satu tipe dari sel darah putih yang bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus yang lain, bakteri jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker. Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi dalam DNA dari sel-sel manusia yang hidup lama, tetap ada seumur hidup membuat infeksi menyebabkan kerusakan sel-sel CD4 dan dalam waktu panjang jumlah sel-sel CD4 menurun menjadi masalah yang sulit untuk ditangani bahkan dengan pengobatan efektif. (Gallant, 2010).
         Apabila sudah banyak sel T4 yang hancur, terjadi gangguan imunitas selular, daya kekebalan penderita menjadi terganggu/cacat sehingga kuman yang tadinya tidak berbahaya atau dapat dihancurkan oleh tubuh sendiri (infeksi oportunistik) akan berkembang lebih leluasa dan menimbulkan penyakit yang serius yang pada akhirnya penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Apabila sudah masuk ke dalam darah, HIV dapat merangsang pembentukan antibody dalam sekitar 3-8 minggu setelah terinfeksi pada periode sejak seseorang kemasukan HIV sampai terbentuk antibody disebut periode jendela (Window Period). Periode jendela ini sangat perlu diketahui oleh karena sebelum antibody terbentuk di dalam tubuh, HIV sudah ada di dalam darah penderita dan keadaan ini juga sudah dapat menularkan kepada orang lain. (Yayasan Pelita Ilmu, 2012)
         Cara pemeriksaan yang umum dipakai ialah dengan pemeriksaan darah serologi dengan cara ELISA (Enzym Linked Imunosorbent Assay) dan cara pemeriksaan penentu dengan tekhnik Western blot. Pertama kali dilakukan tes ELISA apabila hasil negatif berarti tidak terinfeksi HIV walaupun hasil itu negatif bila baru saja terinfeksi belum lama berselang. Bila tes memberi hasil positif laboratorium melakukan tes kedua dengan Western blot (WB), bila kedua hasil tes terlihat positif maka penderita disebut seropositif atau HIV positif. Jika pemeriksaan ELISA Positif dan WB tidak dapat menentukan dengan pasti atau tidak sepenuhnya negatif namun tidak positif juga ada dua kemungkinan penyebab tes tidak dapat menentukan dengan pasti yaitu pertama kemungkinan baru terinfeksi dan dalam masa pengembangan serologi positif (seroconverting) dan dilakukan tes ulangan tidak lama berselang akan menjadi sepenuhnya positif dalam waktu 1 bulan. Kedua mungkin negatif tetapi hasil tes tidak pasti dengan alasan yang tidak akan pernah diketahui dan bila tes tetap tidak pasti selama 1 sampai 3 bulan berarti tidak terinfeksi, hasil positif 97% dalam waktu 3 bulan dan 100% dalam waktu 6 bulan. (Gallant J, 2010).
3.    Tahap-tahap Perjalanan HIV/AIDS
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3 fase.
a.    Fase infeksi akut (Acute Retroviral Syndrome)
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlah berjuta-juta virion. Begitu banyaknya virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50 sampai 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut (ARS) selama 3 sampai 8 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, mialgia, malaise, nyeri kepala diare dengan penurunan berat badan. HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T (CD4) yang dramatis yang kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respon imun. Jumlah limfosit T-CD4 pada fase ini di atas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 8 minggu terinfeksi HIV.
b.    Fase infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) dipusat perminativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten (tersembunyi). Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3. Meskipun telah terjadi sero positif individu umumnya belum menunjukan gejala klinis (asintomatis) fase ini berlangsung sekitar rata-rata 8-10 tahun (dapat juga 5-10 tahun).
c.    Fase infeksi kronis
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan kedalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan didalam sirkulasi sitemik respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berkebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progesif yang mendorong ke arah AIDS, infeksi sekunder yang sering menyertai adalah penomonia, TBC, sepsi, diare, infeksi virus herpes, infeksi jamur kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening. (Nasruddin, 2007)
4.    Manifestasi Klinik

 


 

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi HIV. Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 stadium.
a.    Stadium pertama : infeksi akut HIV
Sejak HIV masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang sangat sulit dikenal karena menyerupai gejala influenza saja, berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif disebut periode jendela, lama periode jendela antara 3-8 minggu bahkan ada yang berlangsung sampai 6 bulan.
b.    Stadium kedua
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukan gejala-gejala. Penderita tampak sehat tetapi jika diperiksa darahnya akan menunjukan sero positif kelompok ini sangat berbahaya karena dapat menularkan HIV ke orang lain. Keadaan ini dapat berlangsung antara 8-10 bahkan 5-10 tahun.
c.    Stadium ketiga
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy) tidak hanya muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih 1 bulan biasanya disertai demam, diare, berkeringat pada malam hari, lesu dan berat badan menurun pada kelompok ini sering disertai infeksi jamur kandida sekitar mulut dan herpes zoster.
d.    Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit antara penyakit saraf dan penyakit infeksi sekunder. Gejala klinis pada satdium AIDS dibagi antara lain :
1)    Gejala utama atau mayori
a)    Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
b)    Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus.
c)    Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan.
d)    Penurunan kesadaran dan gangguan neorologis.
e)    Ensepalopati HIV.
2)    Gejala tambahan atau minor
a)    Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan.
b)    Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur kandida albicans.
c)    Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
d)    Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.
e)    Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh. (Nursalam, 2007)
5.    Cara Penularan
AIDS dikelompokkan dalam Penyakit Menular Seksual (PMS) karena paling banyak ditularkan melalui hubungan seksual (90%).
Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalam semen (air mani) dan cairan vagina/serviks serta darah, cairan mani yang keluar melalui penis pada laki-laki dan vagina pada perempuan sebagai perantara yang paling tinggi menularkan penyakit HIV karena bagian penis dan vagina memiliki struktur lapisan epitel skuamukosa tipis yang mudah ditembusi oleh kuman HIV sampai ke dalam jaringan ikat yang kaya pembuluh darah dan darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 3 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut yaitu :
a.    Transseksual atau jalur hubungan seksual (Homoseksual/ heteroseksual). 
b.    Transhorisontal atau jalur pemindahan darah atau produk darah seperti : transfusi darah, melalui alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur dan melukai luka halus di kulit, jalur transplantasi alat tubuh.
c.    Transvertikal atau jalur transplasental : janin dalam kandungan ibu hamil denga HIV positif akan tertular (Infeksi transplasental) dan infeksi perinatal melalui ASI atau virus HIV dapat ditemukan dalam air liur, air mata tetapi penularan melalui bahan ini belum terbukti kebenarannya karena jumlah HIV-nya sangat sedikit. HIV juga tidak menular lewat jabat tangan, bercium pipi, bersin/batuk dekat penderita AIDS, berenag bersama dalam satu kolam renang, hidup serumah dengan pengidap HIV tanpa hubungan seksual, hewan seperti nyamuk, kutuk busuk dan serangga lainnya belum terbukti dapat menularkan HIV.
6.    Cara Mencegah HIV/AIDS
Dengan mengetahui cara penularan HIV/AIDS dan sampai saat ini belum ada obat yang mampu memusnahkan HIV/AIDS maka lebih mudah melakukan pencegahannya.
a.    Prinsip ABCDE yaitu :
A = Abstinence
      Puasa Sesk, terutama bagi yang belum menikah
B = Be faithful
Setia hanya pada satu pasangan atau menghindari berganti-   ganti pasangan
   C = use Condom
Gunakan kondom selalu bila sudah tidak mampu menahan seks
D = Drugs No
Jangan gunakan narkoba
E = sterilization of Equipment
Selalu gunakan alat suntik steril
b.    Voluntary Conseling Testing (VCT)
VCT merupakan satu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya.
VTC mempunyai tujuan sebagai :
1)    Upaya pencegahan HIV/AIDS
2)    Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi atau pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.
3)    Upaya mengembangkan perubahan perilaku, sehingga secara dini mangarahakan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ARV), serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
c.    Universal Precautions (UPI)
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi serta mencegah penularan HIV/AIDS bagi petugas kesehatan dan pasien.
UPI perlu diterapkan dengan tujuan untuk :
1)    Mengendalikan infeksi secara konsisten.
2)    Mamastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak di diagnosis atau terlihat seperti beresiko.
3)    Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
4)    Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya.
Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui :
1)    Cuci tangan
2)    Alat pelindung
3)    Pemakaian antiseptik
4)    Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi untuk peralatan bedah, sarung tangan dan benda lain.
7.    Pengobatan
Sampai saat ini, belum ada obat yang bisa menyembuhkan AIDS. Obat yang ada hanya memperpanjang hidup penderita. Obat Antiretroviral (ARV) seperti Zidovudin (ZDV), Didanosin (DDI) dan Stavudin, bukan pengobatan yang menyembuhkan namun semuanya bekerja menghambat enzimprotease terbaru seperti ritonavir, saquinavir, dan indivinir yang mencegah virus membuat partikel baru. Virus hanya ditekan selama obat diminum secara teratur, jika berhenti mengkonsumsi ARV penyakit akan muncul lagi jadi sekali obat ini diminum seharusnya terus-menerus diminum seumur hidup. Obat terbaru dan menjanjikan adalah eufufirit yang berfungsi sebagai penghambat peleburan HIV yang menghalangi virus ini melekat pada sel T. bila dikombinasikan dengan obat-obatan yang lain dapat mengurangi muatan viral hampir sampai 0. Semua obat yang dipakai dalam pengobatan AIDS memiliki efek samping yang hanya diketahui melalui tes laboratorium termasuk fungsi hati dan anemia (kurang darah merah).
8.    Prisip Etika dalam kaitannya dengan HIV/AIDS
Prisip etika yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen baik itu seseorang, masyarakat, nasional maupun dunia internasional dalam menghadapai HIV/AIDS adalah :
a.    Empati, ikut merasakan penderitaan, sesama termasuk ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dengan penuh simpati, kasih sayang dan kesedihan saling menolong.
b.    Solidaritas, secara bersama-sama bahu membahu meringankan penderitaan dan melawan ketidakadilan yang diakibatkan olah HIV/AIDS.
c.    Tanggung jawab, berarti setiap individu, masyarakat lembaga atau bangsa mempunyai tanggung jawab untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS dan memberikan perawatan pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) (Nursalam, 2007).
9.    Stigma dan Diskriminasi
         Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk moral/perilakunya sehingga mendapat penyakit tersebut. Orang-orang yang di stigma biasanya dianggap melakukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibat mereka dipermalukan, dihindari, didiskreditkan, ditolak dan ditahan. Penelitian yang dilakukan oleh Kristina (2005) di Kalimantan Selatan dan Cipto (2006) di Jember Jawa Timur tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap mengenai stigma pada orang dengan HIV/AIDS menunjukan bahwa 72% orang yang berpendidikan cukup (SMU) kurang menerima ODHA dan hanya 5% yang cukup menerima. Faktor yang berhubungan dengan kurang diterimanya ODHA antara lain karena HIV/AIDS dihubungkan dengan perilaku penyimpangan seperti seks sesama jenis, penggunaan obat terlarang, seks bebas, serta HIV diakibatkan oleh kesalahan moral sehingga patut mendapatkan hukuman. (Kristina dan Cipto dalam Nursalam, 2008).
          Diskriminasi atau perlakuan tidak adil didefinisikan oleh UNAIDS sebagai tindakan yang 
disebabkan perbedaan, menghakimi orang berdasarkan status HIV/AIDS mereka baik yang pasti maupun yang diperkirakan sebagai pengidap. Diskriminasi ini juga dapat terjadi dibidang kesehatan antara lain dalam kerahasiaan, kebebasan, pribadi, kelakuan kejam, penghinaan atau perlakuan kasar, pekerjaan pendidikan keluarga dan hak kepemilikan maupun hak untuk berkumpul. ODHA menghadapi diskriminasi dimana saja dan diberbagai negara. Membiarkan diskriminasi akan merugikan upaya penanggulangan infeksi HIV/AIDS. (Nursalam, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar