Rabu, 25 Juni 2014

Sejarah Telepon

1871, Natonio Meucci mematenkan penemuannya yang disebut sound Telegraph. Penemuannya ini memungkinkan adanya komunikasi dalam bentuk suara antara dua orang dengan menggunakan perantara kabel.1875, perusahaan telekomunikasi The Bell mendapatkan hak paten atas penemuan Meucci yang disebut transmitters and Receivers for Electric Telegraphs. Sistem ini menggunakan getaran multiple baja untuk memberikan jeda pada sirkuit.1876, perusahaan Bell mematenkan Improvement in Telegraphy. Sistem ini memberikan metode untuk mentransmisikan suara secara telegraf.1877, The Charles Williams Shop merupakan tempat dimana telepon pertama kali dibuat dengan pengawasan Watson, yang selanjutnya menjadi departemen riset dan pengembangan dari perusahaan telekomunikasi tersebut. Alexander Graham Bell terus memantau produktivitas perusahaan tersebut sehingga pada akhir tahun sebanyak tiga ratus telepon dapat digunakan. Perusahaan Bell juga telah mematenkan telepon electro-magnetic yang menggunakan magnet permanen, diafragma besi, dan dering panggilan.1878, papan pengganti secara manual ditemukan sehingga memungkinkan banyak telepon terhubung melalui sebuah saluran pertukaran. dibawah kepemimpinan Theodore N. Vail, perusahaan Bell mempunyai 10.000 telepon yang dapat digunakan. 1880, sirkuit metalic pertama dipasang. Sirkuit ini merupakan perbaharuan dari sirkuit one-wire menjadi two-wire. Perbaharuan ini membantu mengurangi gangguan yang seringkali dirasakan dengan penggunaan jalur one-wire. 1891, telepon dengan nomor dial pertama kali digunakan. Telepon akan bekerja
secara otomatis menghubungkan penelepon ke operator dengan cara menekan nomor dial berdasarkan instruksi. 1915, telepon dengan sistem wireless pertama kali digunakan. Sistem ini memudahkan pengguna telepon untuk saling berhubungan lintas negara. Princess Phone Awal telepon sebagai alat komersial 1940, telepon mobile pertama kali digunakan secara komersial. Inovasi ini sebelumnya digunakan sebagai alat bantu perang untuk membidik tembakan dan meningkatkan kualitas radar. Selesai perang, ratusan telepon dipasang dengan menggunakan sistem ini. Microwave radio dipasang untuk hubungan jarak jauh. 1959, telepon Princess pertama kali diperkenalkan 1963, telepon dengan tombol bersuara diluncurkan 1971, perusahaan telekomunikasi mandiri diizinkan untuk mengemangkan sistem komunikasi yang dikembangkan untuk bisnis. Berjuta-juta saluran telepon telah digunakan masyarakat. 1983, Judge Harold Greene dengan sukses mengungguli perusahaan Bell yang sebelumnya telah dicabut hak monopolinya. 1899, AT&T atau The American Telephone and Telegraph Company telah mandapatkan asset dan mendapatkan hak paten dari perusahaan American Bell. AT&T didirikan tahun 1885 sebagai pemilik keseluruhan subsidi dari American
Bell yang bertugas mendirikan dan mengoperasikan jaringan telepon jarak jauh. 1913, amplifirers elektric pertama kali dipraktekkan oleh AT&T. sistem ini memungkinkan adanya hubungan telepon antar-benua.1927, AT&T memulai proyek layanan telepon lintas-atlantik di London dengan menggunakan dua jalur radio. Namun proyek ini masih jauh dari ideal karena banyak terjadi gangguan dalam radio, memiliki kapasitas yang kecil, dan biaya teleponnya yang mahal. Kemudian proyek ini dipindahkan menjadi lintas-pasifik pada tahun 1964. 1969, pengguna telepon di Amerika telah mencapai 90%. AT&T menjadi laboratorium sistem telepon paling baik di dunia.
1990, pertumbuhan komputer yang kemudian disusul dengan munculnya internet membuat pola pengiriman pesan bergeser dari percakapan menjadi pengiriman data.
Telepon digital Public Switched Telephone Network (PSTN) dilakukan berdasarkan hubungan langsung antara sender dengan receiver yang harus menggunakan kabel tembaga, serat optic, satellite, fixed wireless, dan mobile wireless circuit. Penggunaan jaringan tersebut melibatkan komponen dasar yaitu telepon, network access, central office (CO), trunks and special circuit, dan customer premise equipment (CPE).perkembangan PSTN sebagai sistem telepon digital telah meningkatkan kapasitas dan kalitas jaringanya sehingga memungkinkan untuk menggunakan beberapa saluran komunikasi dalam sebuah medium pertukaran.

Kamis, 12 Juni 2014

CARA BERHIJAB


 


 

asal usul Bangsa Indonesia

Siapakah sesungguhnya Bangsa Indonesia? Ada banyak cara/versi untuk menerangkan jawaban atas pertanyaan tadi. Dari semua versi, keseluruhannnya berpendapat sama jika lelulur masyarakat Indonesia yang sekarang ini mendiami Nusantara adalah bangsa pendatang. Penelitian arkeologi dan ilmu genetika memberikan bukti kuat jika leluhur Bangsa Indonesia bermigrasi dari wilayah Asia ke wilayah Asia bagian Selatan. Masyarakat Indonesia mungkin banyak yang tidak menyadari apabila perbedaan warna kulit, suku, ataupun bahasa tidak menutupi fakta suatu bangsa yang memiliki rumpun sama, yaitu rumpun Austronesia. Jika melihat catatan penelitian dan kajian ilmiah tentang asal-usul suatu bangsa, apakah masyarakat Indonesia menyadari jika mereka berasal (keturunan) dari leluhur yang sama (satu rumpun)?
Topik dalam tulisan ini sebelumnya sudah sering dibahas di media cetak maupun elektronik, termasuk juga dituliskan oleh beberapa blogger. Sayang sekali di setiap penulisan tidak memberikan penegasan apapun kecuali hanya sekedar informasi umum. Pada prinsipnya, dengan menelusuri asal-usul suatu bangsa, setidaknya akan diketahui gambaran atas pemikiran, paham, ataupun anggapan tentang sikap suatu bangsa.
Menelusuri asal-usul suatu bangsa tidak sekedar membutuhkan bidang ilmu antropologi, akan tetapi sudah masuk ke dalam ranah ilmu genetika. Pada awalnya, penelurusuran hanya didasarkan pada bukti-bukti arkeologi dan pola penuturan bahasa. Temuan terbaru cukup mengejutkan karena merubah keseluruhan fakta di masa lalu jika selama ini leluhur Bangsa Indonesia bukan berasal dari Yunan.
Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).
Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.
Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.
Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika.
Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.
Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.
Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.

Selasa, 27 Mei 2014

RONDE KEPERAWATAN

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Definisi Ronde Keperawatan
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau konselor, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim.
Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam peraktik keperawatan secara langsung.
Karakteristik ronde keperawatan adalah sebagai berikut:
1.      Klien dilibatkan secara langsung
2.      Klien merupakan fokus kegiatan
3.      Perawat aosiaet, perawat primer dan konsuler melakukan diskusi bersama
4.      Kosuler memfasilitasi kreatifitas
5.      Konsuler membantu mengembangkan kemampuan perawat asosiet, perawat
6.      Primer untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah.
2.2.      Tujuan Ronde Keperawatan
Adapun tujuan ronde keperawatan adalah sebagai berikut:
1.      Menumbuhkan cara berpikir secara kritis.
2.      Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berasal dari masalah klien.
3.      Meningkatkan validitas data klien.
4.      Menilai kemampuan justifikasi.
5.      Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja.
6.      Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana perawatan.
2.3.      Peran dalam Ronde Keperawatan
A.      Peran Ketua Tim dan Anggota Tim
1.      Menjelaskan keadaan dan data demografi klien.
2.      Menjelaskan masalah keperawata utama.
3.      Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan.
4.      Menjelaskan tindakan selanjutnya.
5.      Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil.
B.      Peran Ketua Tim Lain dan/Konselor
Ø  Perawat primer (ketua tim) dan perawat asosiet (anggota tim)
Dalam menjalankan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang bisa untuk memaksimalkan keberhasilan yang bisa disebutkan antara lain :
1.      Menjelaskan keadaan dan adta demografi klien
2.      Menjelaskan masalah keperawatan utama
3.      Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan
4.      Menjelaskan tindakan selanjtunya
5.      Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil
Ø  Peran perawat primer (ketua tim) lain dan atau konsuler
1.      Memberikan justifikasi
2.      Memberikan reinforcement
3.      Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta tindakan yang rasional
4.      Mengarahkan dan koreksi
5.      Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari
2.4.       Langkah-langkah Ronde Keperawatan
A. Persiapan
1.      Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan ronde.
2.      Pemberian inform consent kepada klien/ keluarga.
B. Pelaksanaan
1.      Penjelasan tentang klien o/ perawat primer dlm hal ini penjelasan difokuskan pd mslh keperawatan& rencana tindakan yg akan/telah dilaksanakan& memilih prioritas yg perlu didiskusikan.
2.      Diskusikan antar anggota tim tentang kasus tersebut.
3.      Pemberian justifikasi oleh perawat primer/ perawat konselor/ kepala ruangan tentang masalah klien serta tindakan yg akan dilakukan.
4.      Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah dan yang akan ditetapkan.
C.      Pasca Ronde
Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan tindakan yang perlu dilakukan.
2.5.Kelemahan Ronde Keperawatan
Kelemahan metode ini adalah klien dan keluarga merasa kurang nyaman serta privasinya terganggu.
            Masalah yang biasanya terdapat dalam metode ini adalah sebagai berikut:
1.      Berorientasi pada prosedur keperawatan
2.      Persiapan sebelum praktek kuarang memadai
3.      Belum ada keseragaman tentang laporan hasil ronde keperawatan
4.      Belum ada kesempatan tentang model ronde keperawatan
BAB III
PENUTUP
3.1.      kesimpulan
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau konselor, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim.
Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam peraktik keperawatan secara langsung.

CUCI TANGAN 6 LANGKAH

FIVE MOMENT HANDHIEGENE
  1. Sebelum kontak dengan Pasien
  2. Sebelum tindakan Aseptik
  3. Setelah kontak dengan Pasien
  4. Setelah terkena cairan tubuh Pasien
  5. Setelah menyentuh Lingkungan Pasien
  
 
 Cara cuci tangan menurut WHO :
  1. Buka semua asesoris
  2. Sing singkan lengan baju
  3. Basahi tangan dengan air mengalir
  4. Basahi dengan menggunakan sabun
  5. Gosok tangan dengan sesama telapak tanga
  6. Telungkupkan 2 tangan secara bergantian
  7. Mengatupkan kedua tangan
  8. Mengunci kedua tangan
  9. Putar ibu jari
  10. Gosok jari jari diatas telapak tangan dengan cara memutar

Senin, 19 Mei 2014

PEMASANGAN OKSIGEN

Pengertian
Pemberian oksigen ke dalam paru-paru melalui saluran pernapasan dengan menggunakan alat bantu dan oksigen. Pemberian oksigen pada klien dapat melalui kanula nasal dan masker oksigen. (Suparmi, 2008:66)
Tujuan Umum 
  1. Meningkatkan ekspansi dada
  2. Memperbaiki status oksigenasi klien dan memenuhi kekurangan oksigen 
  3. Membantu kelancaran metabolisme
  4. Mencegah hipoksia 
  5. Menurunkan kerja jantung 
  6. Menurunkan kerja paru –paru pada klien dengan dyspnea
  7. Meningkatkan rasa nyaman dan efisiensi frekuensi napas pada penyakit paru (Aryani, 2009:53)
Indikasi
Efektif diberikan pada klien yang mengalami :
1.      Gagal nafas
Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan pertukaran O2 dan CO2  sehingga sistem pernapasan tidak mampu memenuhi metabolisme tubuh. 
2.      Gangguan jantung (gagal jantung)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. 
3.      Kelumpuhan alat pernafasan
Suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2 dan CO2.
4.    Perubahan pola napas.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dyspnea (kesulitan bernapas, misal pada pasien asma),sianosis (perubahan warna menjadi kebiru-biruan pada permukaan kulit karena kekurangan oksigen), apnea (tidak bernapas/ berhenti bernapas), bradipnea (pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuensi kurang dari 16x/menit), takipnea (pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi lebih dari 24x/menit (Tarwoto&Wartonah, 2010:35)
5.      Keadaan gawat (misalnya : koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat mempertahankan sendiri jalan napas yang adekuat sehingga mengalami penurunan oksigenasi.
6.      Trauma paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera akan  mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
7.      Metabolisme yang meningkat : luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
8.      Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh dari obat bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga sel tidak mendapat asupan oksigen yang cukup.
9.      Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup karena akan menggantikan posisi O2 yang berikatan dengan hemoglobin dalam darah.
(Aryani, 2009:53)
Kontraindikasi
 
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat pemberian jenis dan jumlah aliran yang  tepat. Namun demikan, perhatikan pada khusus berikut ini
  1. Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) yang mulai bernafas spontan maka pemasangan masker partial rebreathing dan non rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala keracunan oksigen. Hal ini dikarenakan jenis masker rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
  2. Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami muntah-muntah
  3.  Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari pemakaian nasal kanul.
(Aryani, 2009:53)
 
Hal – hal yang perlu diperhatikan
  • Perhatikan jumlah air steril dalam humidifier, jangan berlebih atau kurang dari batas. Hal ini penting untuk mencegah kekeringan membran mukosa dan membantu untuk mengencerkan sekret di saluran pernafasan klien
  •  Pada beberapa kasus seperti bayi premature, klien dengan penyakit akut, klien dengan keadaan yang tidak stabil atau klien post operasi, perawat harus mengobservasi lebih sering terhadap respon klien selama pemberian terapi oksigen
  • Pada beberapa klien, pemasangan masker akan  memberikan tidak nyaman karena merasa “terperangkat”. Rasa tersebut dapat di minimalisir jika perawat dapat meyakinkan klien akan pentingnya pemakaian masker tersebut.
  • Pada klien dengan masalah febris dan diaforesis, maka perawat perlu melakukan perawatan kulit dan mulut secara extra karena pemasangan masker tersebut dapat menyebabkan efek kekeringan di sekitar area tersebut.
  • Jika terdapat luka lecet pada bagian telinga klien karena pemasangan ikatan tali nasal kanul dan masker. Maka perawat dapat memakaikan kassa berukuran 4x4cm di area tempat penekanan tersebut.
  • Akan lebih baik jika perawat menyediakan alat suction di samping klien dengan terapi oksigen
  •  Pada klien dengan usia anak-anak, biarkan anak bermain-main terlebih dahulu dengan contoh masker.
  • Jika terapi oksigen tidak dipakai lagi, posisikan flow meter dalam posisi OFF
  • Pasanglah tanda : “dilarang merokok : ada pemakaian oksigen” di pintu kamar klien, di bagian kaki atau kepala tempat tidur, dan di dekat tabung oksigen. Instrusikan kepada klien dan pengunjung akan bahaya merokok di area pemasangan oksigen yang dapat menyebabkan kebakaran.
       (Aryani, 2009:53)

PEMBERIAN OKSIGEN MELALUI NASAL KANULA
Pengertian 
    Pemberian oksigen pada klien yang memerlukan oksigen secara kontinyu dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit serta konsentrasi 20-40%, dengan cara memasukan selang yang terbuat dari plastik ke dalam hidung dan mengaitkannya di belakang telinga. Panjang selang yang dimasukan ke dalam lubang dihidung hanya berkisar 0,6 – 1,3 cm. Pemasangan nasal kanula merupakan cara yang paling mudah, sederhana, murah, relatif nyaman, mudah digunakan cocok untuk segala umur, cocok untuk pemasangan jangka pendek dan jangka panjang, dan efektif dalam mengirimkan  oksigen. Pemakaian nasal kanul juga tidak mengganggu  klien untuk melakukan aktivitas, seperti berbicara atau makan. (Aryani, 2009:54)
 
Tujuan
a.    Memberikan oksigen dengan konsentrasi relatif rendah saat kebutuhan oksigen minimal.
b.    Memberikan oksigen yang tidak terputus saat klien makan atau minum.
(Aryani, 2009:54)
 
Indikasi
Klien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat bantu nasal kanula untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak sesak). (Suparmi, 2008:67)
 Prinsip
a.  Nasal kanula untuk mengalirkan oksigen dengan aliran ringan atau rendah, biasanya hanya 2-3 L/menit.
b.    Membutuhkan pernapasan hidung
c.    Tidak dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi >40 %.
(Suparmi, 2008:67)

Tindakan Pemasangan ETT



Tujuan :
Untuk menegakkan patensi jalan napas
Indikasi
1.    Kebutuhan akan ventilasi mekanik
2.    Kebutuhan akan hiegine pulmoner
3.    Kumungkinan aspirasi
4.    Kemungkinan obstruksi jalan napas bagian atas
5.    Pemberian anastesi

Kontraindikasi :
Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan napas bagian atas yang buruk / fraktur dari wajah dan leher dapat memungkinkan dilakukannya intubasi
 Kemungkinan komplikasi :
1.    Memar, laserasi, dan abrasi
2.    Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal)
3.    Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku)
4.    Sinusitis (dengan nasotrakeal tube)
5.    Ruptur trakeal
6.    Fistula trakeoesofageal.
7.    Muntah dengan aspirasi, gigi copot atau rusak
8.    Distrimia jantung
Peralatan :
  1. Endotrakeal (ET) tube dalam berbagai ukuran.
  2. Stylet (sejenis kawat yangdimasukkan kedalam kateter atau kanula dan menjaga kanula tersebut agar tetap kaku/tegak)
  3. Laringoskop, bengkok dan berujung lurus.
  4. Forsep macgill ( hanya untuk intubasi nasotrakeal )
  5. Jelli busa 4x4
  6. Spuit 10 cc
  7. Jalan napas orofaringeal
  8. Resusitasi bag dengan adafter dan masker yang dihubungkan dengan tabung oksigen dan flowmeter.
  9. Peralatan penghisap lendir
  10. Kanul penghisap dengan sarung tangan.
  11. Ujung penghisap tonsil Yankauer.
  12. Plester 1 cm.
  13. Ventilator atau set oksigen.
  14. Restrain.
  15. Mesin monitor jantung/ EKG.
  16. Peralatan henti jantung.
Prosedur :
  1. Ingatkan ahli terapi pernapaan, dan siapkan alat ventilator atau set oksigen seperti yang dianjurkan oleh dokter.
  2. Jelaskan prosedur pada pasien, jika mungkin. Pasang restrain jika diperlukan.
  3. Yakinkan bahwa pasien mendapat terapi intravena yang stabil.
  4. Tempatkan peralatan henti jantung disi tempat tidur.
  5. Periksa untuk meyakinkan bahwa peralatan penghisap (suction) dan ambubag sudah tersedia dan berfungsi dengan baik, hubungkan ujung penghisap Yankauer dan sumbernya.
  6. Jika pasien tidak dalam monitor jantung, hubungkan pada monitor atau EKG.
  7. Pidahkan alas kepala dan tempatka pasien sedekat mungkin dengan bagian atas tempat tidur. Pasien harus dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan fleksi dengan kepala ekstensi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan 2-4 inchi alas kepala di leher belakang bagian bawah.
  8. Tanyakan pada dokter tipe pisau operasi yang harus disiapkan dan ukuran dari ET tube yang akan digunakan.
  9. Hubungkan mata pisau operasi pada laringoskop, dan periksa bola lampu untuk mendapatkan penerangan yang cukup.
  10. Siapkan ET tube, dan kembangkan manset/balonnya untuk mengetahui adanya kebocoran dan pengembangan yang simetris.
  11. Basahi ujung distal dari ET tube dengan jeli anestetik.
  12. Masukkan stylet ke dalam tube, yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari ujung ET tube.
  13. Persiapkan untuk memberikan obat-obatan intravena (suksinil-kholin atau diazepam).
  14. Pegang ET tube dengan bagian probe dan stylet pada tempatnya, laringoskop dengan mata pisau terpasang, jalan napas orofaringeal ke arah dokter.
  15. Observasi dan berikandukungan pada pasien. Pertahankan terapi intravena dan awasi adanya disritmia. 
  16. Berikan tekanan pada krikoid selama intubasi endotrakeal untuk melindungi regurgitasi isilambung. Temukan kartilago krikoid dengan menekan raba tepat dibawah kartilago tiroid (adam apple). Bagian inferior yang menonjol ke arah kartilago adalah krikoid kartilago. Berikan tekanan pada bagian anterolateral dari kartilago tepat sebelah lateral dari garis tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk. Pertahankan tekanan sampai manset endotrakeal dikembangkan.
  17. Setelah ET tube pada tempatnya, kembangkan manset dengan isi yang minimal sebagai berikut : Selama inspirasi (bag resusitasi manual / ventilator), masukan dengan perlahan udara ke garis manset. Tahan manset yang sudah dikembangkan selama siklus ekspirasi --> Ulangi dengan perlahan pengembangan manset  selama siklus inspirasi tambahan --> Akhiri mengembangkan manset bila kebocoran sudah terhenti.
  18. Lakukan penghisapan dan ventilasi.
  19. Untuk memeriksa posisi ET tube, ventilasi dengan bag dan lakukan auskultasi bunyi napas. Observasi penyimpangan bilateral dada.
  20. Fiksasi ETT pada tempatnya dengan langkah sebagai berikut: Bagi pasien dengan intubasi oral yang bergigi lengmanset, ( jika jalan napas oral-faringeal yang digunakan, ini harus dipendekkan sehinggga tidak masuk kedalam faring posterior) --> Bagi dua lembar plester, sebuah dengan panjang  hampir 20-24 cm dan yang lain sekitar 14-16 cm (cukup untuk mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ETT beberapa waktu) --> Letakkkan plester dengan panjang 20-24 cm pada daerah yang rata, tegakkan sisinya keatas, dan balikkan kearah plester dengan panjang 14-16 cm --> Oleskan kapur harus pada daerah sekitar mulut --> Tempatkan plester disamping leher pasien -- > Letakkan  satu ujung plester menyilang diatas bibir, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik kearah mulut --> Letakkan ujung yang lain dibawah bibir bawah menyilang dagu, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik masuk ke mulut --> Lakukan auskultasi dada bilateral.
Tindak lanjut
1.    Pastikan bahwa ETT telah terfiksasi dengan baik dan pasien mendapatkan ventilasi yang adekuat.
2.    Kaji sumber oksigen atau ventilator.
3.    Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk memeriksa letak ETT
4.    Yakinkan dan beri srasa nyaman pasien.

Minggu, 18 Mei 2014

Prosedur Pengambilan Darah Vena

Agar dapat di peroleh spesimen darah yang syarat uji laboratorium, maka pengambilan sampel darah garus di lakukan dengan benar, mulai dari persiapan, pemilihan jenis antikoagulan, pemilihan letak vena, tekhnik pengambilan sampai dengan pelabelan sampel.

Pengambilan sampel darah tidak boleh di lakukan pasa lengan yang terpasang infus , jika salah satu lengan terpasang infus maka pengambilan di lakukan pasa lengan yang yang tidak terpasang infus. jika kedua lengan terpasang infus di lakukan pengambilan pada vena kaki.

Darah vena diperoleh dengan jalan pungsi vena. Jarum yang digunakan untuk menembus vena itu hendaknya cukup besar, sedangkan ujungnya harus runcing , tajam dan lurus. Dianjurkan untuk memakai jarum dan semprit yang dispossible; semprit semacam itu biasanya dibuat dari semacam plastik. Baik semprit maupun jarum hendaknya dibuang setelah dipakai, janganlah disterilkan lagi guna pemakaian berulang.


Pengambilan Darah Vena dengan Syringe (Spuit)

Tujuan : Untuk mendapatkan darah vena dengan menggunakan syringe.

Prinsip : Darah vena diambil dengan cara melakukan penusukan pada pembuluh darah vena, darah akan masuk pada ujung semprit, dilanjutkan dengan menarik torak / piston sampai volume darah yang dikehendaki.

Lokalisasi :
Vena yang cukup besar dan letaknya superficial, Pada orang dewasa biasanya vena difosa cubiti sedangkan pada anak-anak dan bayi mungkin diambil pada : Vena Jugularis Externa, Vena Femoralis (paha), Vena Sinus Sagitalis Superior (kepala)

Prosedur kerja :
  1. Alat-alat yang diperlukan disiapkan diatas meja.
  2. Keadaan pasien diperiksa, diusahakan pasien tenang begitu pula petugas (Phlebotomis).
  3. Ditentukan vena yang akan ditusuk, pada orang gemuk atau untuk vena yang tidak terlihat dibantu dengan palpasi
  4. Daerah vena yang akan ditusuk diperhatikan dengan seksama terhadap adanya peradangan, dermatitis atau bekas luka, karena mempengaruhi hasil pemeriksaan.
  5. Tempat penusukan didesinfeksi dengan Alkohol 70 % dan dibiarkan kering
  6. Tourniquet dipasang pada lengan atas (bagian proximal lengan) 6 – 7 cm dari lipatan tangan.
  7. Tegakkan kulit diatas vena dengan jari-jari tangan kiri supaya vena tidak bergerak
  8. Dengan lubang jarum menghadap keatas, kulit ditusuk dengan sudut 45o – 60o sampai ujung jarum masuk lumen vena yang ditandai dengan berkurangnya tekanan dan masuknya darah keujung semprit.
  9. Holder ditarik perlahan-lahan sampai volume darah yang diinginkan.
  10. Torniquet dilepas, kapas diletakkan diatas jarum dan ditekan sedikit dengan jari kiri, lalu jarum ditarik.
  11. Pasien diinstruksikan untuk menekan kapas selama 1 – 2 menit dan setelah itu bekas luka tusukan diberi plester hansaplast.
  12. Jarum ditutup lalu dilepaskan dari sempritnya, darah dimasukkan kedalam botol atau tabung penampung melalui dinding secara perlahan. Bila menggunakan anticoagulant, segera perlahan-lahan dicampur.


     Hal – hal yang perlu diperhatikan pada pengambilan darah vena :
  1. Lepas tutup jarum secara perlahan, jangan sampai ujung jarum menyentuh tutupnya, sebab jarum dapat tumpul
  2. Pada Vacutainer pemasangan tabung vakum pada holder harus kuat, dengan cara ibu jari kanan mendorong tabung sedangkan jari telunjuk dan jari tengah (kanan) tertumpu pada kedua sisi holder, ibu jari tangan kiri memegang holder dengan sedikit menekan agar holder tidak bergerak
  3. Pasien yang takut harus ditenangkan dengan memberi penjelasan mengenai apa yang akan dilakukan, maksud beserta tujuannya
  4. Vena yang kecil terlihat sebagai garis-garis biru biasanya sukar digunakan
  5. Untuk vena yang tidak dapat ditentukan karena letaknya yang dalam, usaha coba-coba dilarang untuk dilakukan
  6. Pembendungan yang terlalu lama jangan dilakukan karena dapat mengakibatkan hemokonsentrasi setempat 
  7. Hematome, yaitu keluarnya darah dibawah kulit dalam jaringan pada kulit disekitar tusukkan akan terlihat berwarna biru, biasanya akan terasa nyeri, perintahkan pasien untuk mengompresnya dengan air hangat beberapa menit atau beberapa hari sampai sakitnya hilang